Kebangkitan, Toleransi dan Kerukunan
Menurut agama Hindu, alam semesta ini pada mulanya kosong, sunyi, gelap gulita, tiada ada yang ada. Maka tibalah awal penciptaan, sebutir indung telur bernama Hiranyagarbha sakti merupakan benih pertama dari segala yang tercipta, disebut juga Mahadivya, pada awal yuga pertama. Inilah cahaya Brahman, Mahatman pertama, kekal abadi, tiada terlukiskan, cemerlang memancar kemana-mana, keseluruh penjuru. Ini adalah asal mula paling halus alam benda atau alam jasmani dan alam bukan-benda atau alam rohani. Dari indung telur cahaya Brahman ini terlahir Pitamaha, satu-satunya makhluk yang disebut Prajapati pertama.
Menurut agama Hindu, alam semesta ini pada mulanya kosong, sunyi, gelap gulita, tiada ada yang ada. Maka tibalah awal penciptaan, sebutir indung telur bernama Hiranyagarbha sakti merupakan benih pertama dari segala yang tercipta, disebut juga Mahadivya, pada awal yuga pertama. Inilah cahaya Brahman, Mahatman pertama, kekal abadi, tiada terlukiskan, cemerlang memancar kemana-mana, keseluruh penjuru. Ini adalah asal mula paling halus alam benda atau alam jasmani dan alam bukan-benda atau alam rohani. Dari indung telur cahaya Brahman ini terlahir Pitamaha, satu-satunya makhluk yang disebut Prajapati pertama.
Kemudian setelah Brahman, Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa), Tercipta sendiri cahaya ilahi suci Wiwaswan atau Sambhu. Demikianlah kemudian Brahman menciptakan surga, ujung surga, planet, angkasa, bulan, udara, ether, air, bumi; kemudian tahun, musim, sasih (bulan), paksha ( tilem dan purnama), siang dan malam. Wiwaswan atau Sambhu sebagai personifikasi matahari menerima wahyu dari Brahman untuk menciptakan manusia pertama, yaitu Manu. Sambhu pula yang mengajarkan kepada Manu ajaran-ajaran suci dalam bentuk Weda-Desa. Manu kemudian mengajarkan wahyu, yaitu isi kitab Weda kepada Iswaku, hukum yang mengatur kehidupan di alam semesta, agar alam semesta dapat dilestarikan dan tidak musnah di Kala Yuga mendatang.
Abad I tahun Masehi ditandai oleh zaman keemasan bagi umat Hindu. Di India, dimana agama Hindu untuk pertama kalinya diwahyukan Hyang Widhi kepada manusia pertama, Manu, zaman gemilang ini dicatat dengan lahirnya Kanishka I dari keturunan Dinasti Kushana. Kaniskha I masyhur karena sikap toleransinya yang terlahir dari kebangkitan umat beragama, baik agama Budha, agama Hindu sekte Siwa, sekte Wisnu, Tantri, Tirtha dan sebagainya.
Kehadiran sang pendita Saka gelar Aji Saka yang teramat penting di bumi Indonesia tidak dapat dilewatkan begitu saja. Peristiwa itu menjadi tonggak sejarah kebangkitan dan toleransi beragama yang sangat harmonis, serasi dan selaras dengan sikap dan watak bangsa Indonesia sejak dahulu kala. Pendita Saka gelar Aji Saka ini adalah keturunan bangsa Saka dari Kshatrapa Gujarat, barat laut India, tiba di Indonesia pada tahun 456 Masehi, tatkala di India berkuasa Maharaja Diraja Skanda Gupta dari Dinasti Gupta Yang Agung, yang menaklukkan Dinasti Kushana.
Berkat ketekunan dan keuletan Pendita Saka gelar Aji Saka dalam menyebarkan doktrin kebangkitan dan toleransi beragama yang dirintis oleh Maharaja Diraja Kanishka I hampir 400 tahun sebelumnya, yaitu sejak tahun 78 Masehi di India, doktrin ini terus berkembang hingga kini dan makin hari makin subur.
Demikianlah hari tanggal satu bulan satu tahun satu Saka yang jatuh pada tahun 78 Masehi diperingati dan dirayakan oleh umat Hindu yang mengagungkan kebangkitan dan toleransi beragama sebagai Hari Raya Nyepi.
Bagi umat Hindu, mengagungkan Hari Raya Nyepi merupakan kebutuhan mutlak untuk meningkatkan spiritualitas pribadi masing-masing. Sebaliknya, umat Hindu meyakinkan dirinya bahwa kebaktian yang diberikan pribadi-pribadi untuk kepentingan agama sangat didambakan, walaupun kebaktian tersebut tidak dapat diukur dengan nilai tukar apa pun yang bersifat kebendaan dan hanya bisa diukur dengan kepuasan bathin.
Dalam menyambut Hari Raya Nyepi, umat Hindu melaksanakan serangkaian upacara/upakara. Tujuan hakiki rangkaian upacara/upakara ini adalah memarisudha bhumi, menjadikan alam semesta bersih, serasi, selaras dan seimbang; bebas dari kebatilan, malapetaka, kekacauan sehingga umat manusia sejahtera, terbebas dari penindasan, kebodohan dan kemiskinan.
Rangkaian upacara/upakara ini adalah sebagai berikut :
A. Mekiis, melis, melasti
Mekiis, melis atau melasti dilakukan dua hari sebelum Hari Raya Nyepi. Bentuk upacaranya adalah melakukan bersih-bersih dan penyucian segala sarana dan peralatan yang dipergunakan dalam persembahyangan dan meditasi, dengan beramai-ramai mengarak sarana tersebut ke laut. Bagi umat Hindu, laut adalah lambang pembersih segala kotoran dimana Hyang Widhi dalam wujud Varuna (Baruna) siap membersihkan dan menyucikan dengan air suci tirtha.
B. Tawur Kesanga, tawur agung, mecaru
Tawur Kesanga atau tawur agung atau mecaru dilakukan sehari sebelum Hari Raya Nyepi. Upacaranya bertahap menurut tingkat dan klarifikasi peruntukannya, yaitu untuk negara, wilayah, desa, banjar,rumah tangga, masing-masing sesuai dengan kelas atau tingkat persembahan yang disebut bhutayadnya atau korban suci bagi makhluk yang lebih rendah derajatnya daripada manusia. Pada waktu senja kala, upacara/upakara ini disusul pengrupuk, mebuu-buu, yaitu pembersihan total di negeri, desa, banjar, dan rumah-rumah.
Tawur Kesanga adalah korban suci yang khusus diperuntukkan bagi bhutakala, yaitu makhluk yang lebih rendah derajatnya dari manusia, yaitu setan, jin, kuntilanak, dedemit, memedi, gandarwa/gendruwo, leak, kuman, bakteri, virus dan lain sebagainya yang menimbulkan wabah penyakit, malapetaka, kematian, kesusahan dan sebangsanya, agar bhutakala tidak mengganggu keharmonisan hidup dan kelestarian alam.
Pengrupuk dan mebuu-buu yaitu membunyikan atau menabuh gamelan, kentongan, meriam bambu, mercon, petasan atau bunyi-bunyian apa saja dengan riuh ramai sambil mengarak ogog-ogoh berkeliling desa agar bhutakala lari tunggang langgang menjauh dari banjar dan desa. Tidak hanya itu, dengan obor dan kembang api bhutakala diusir biar enyah.
C. Nyepi, sipeng
Nyepi atau sipeng dilakukan tepat pada tanggal satu bulan satu tahun Saka yang jatuh setelah tilem (bulan mati) sasih kesanga, pada bulan Maret tarikh Masehi, dengan jalan amati geni, amati karya, amati lelunganan dan amati lelangunan. Upacara ini disebut tapa brata.
Nyepi atau sipeng ini dilaksanakan sebagai kelanjutan upcara pembersih bagi alam semesta. Kalau dua hari dan sehari sebelum Hari Raya Nyepi telah dilakukan upacara/upakara pembersihan alat-alat persembahyangan sebagai media konsentrasi jiwa, kalau alam lingkungan sudah dobersihkan dan disucikan dari bhutakala, maka tiba saatnya untuk melaksanakan upacara/upakara pembersih diri manusia sendiri (buana alit) agar kesetabilan atau keseimbangan antara manusia ( buana alit atau mikrokosmos) dengan alam semesta (buana agung atau makrokosmos ) bisa terjamin.
Tepat pada Hari Raya Nyepi umat Hindu berkewajiban untuk tidak me-api-api, tidak melaksanakan kerja, tidak mengadakan perjalanan keluar rumah, tidak bersuka-ria. Sebagai puncaknya, umat Hindu harus melaksanakan tapa brata, berpuasa, bersemedi, mengosongkan pikiran, menyatukan jiwa, manunggal dengan Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa dalam situasi nang – ning – nung – neng – nong, yaitu; tenang, hening, merenung, meneng dan kosong !.
D. Ngembak api, ngembak geni
Ngembak api atau ngembak geni dilakukan sehari setelah Hari Raya Nyepi, yaitu ketika umat kembali menjalankan tugas dan kewajiban sehari-hari seperti biasa. Mulai hari itu umat melakukan sima karma , dharmasanti, saling bersilaturahmi. Kegiatan ini dilaksanakan sebagai rangkaian terakhir upacara/upakara Hari Raya Nyepi dengan bersembahyang dan berdoa diwaktu dini hari sebelum ayam jantan berkokok, seperti diajarkan dalam Bhagavadgita: “Berlindunglah engkau pada Hyang Widhi dengan seluruh jiwa ragamu. Dengan restu-Nya engkau akan mencapai kedamaian tertinggi yang kekal abadi.”
Desa Kala Patra
Doktrin desa kala patra adalah strategi luhur bagi umat Hindu untuk menjalani hidupnya. Doktrin ini sudah diterapkan sejak zaman dahulu, jauh sebelum orang menggunakan tarikh Masehi untuk memperhitungkan waktu. Nenek moyang orang Hindu telah memperhitungkan apa artinya :
Doktrin desa kala patra adalah strategi luhur bagi umat Hindu untuk menjalani hidupnya. Doktrin ini sudah diterapkan sejak zaman dahulu, jauh sebelum orang menggunakan tarikh Masehi untuk memperhitungkan waktu. Nenek moyang orang Hindu telah memperhitungkan apa artinya :
Desa : Tempat kita berada, lingkungan sekitar desa atau daerah, wilayah/kawasan dunia, alam semesta.
Kala : Masa dahulu (prasejarah, tahun Masehi, sejarah); sekarang (masa kebangkitan, pembangunan); nanti (tercapainya masa depan bangsa)
Patra : Keadaan situasi, kondisi, relevansi, dan inovasi.
Berdasarkan doktrin ini, umat Hindu akan bertanya pada diri sendiri, di mana pun, kapan pun, bagaimana hendaknya seorang berpikit, berbicara dan bertindak sesuai lingkungan tempat ia berada; pada waktu kapan sebaiknya ia berpikir, berbicara dan bertindak tepat; serta dalam situasi dan kondisi bagaimana pikiran,ucapan dan tindakannya harus dilakukan. Doktrin ini bersifat umum dan universal !.
Diukur dari luas berpijaknya umat Hindu (di mana pun di muka bumi), dalam kurun waktu kapan pun (sejak zaman prasejarah sampai sekarang), agama Hindu masih tetap ada (survive) karena agama Hindu adalah :
Sanatana Dharma : Agama yang abadi dan sudah ada sejak beribu-ribu tahun sebelum tarikh Masehi.
Arya Dharma : Agama orang-orang yang teguh, tangguh, dan perkasa.
Vaidhika Dharma : Agama yang diwahyukan Hyang Widhi Wasa.
Dalam konteks Hari Raya Nyepi yang dirayakan sebagai hari kebangkitan, toleransi dan kerukunan,
doktrin desa-kala-patra ini merupakan pegangan yang kuat untuk penganut
agama Hindu di luar bali yang tidak lagi merasa dipaksa untuk mengikuti
kaidah-kaidah agama Hindu di Bali, tanpa mengurangi substansinya yang
tetap berpola; tatwa, susila dan upacara. Harus disadari bahwa peranan
adat dan seni budaya di Bali masih sangat kuat, dimana pelaksanaan
ajaran agama Hindu diterapkan menurut situasi dan kondisi yang klasik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar